Soeharto & SBY
(inilah.com)
(inilah.com)
Sedianya Indonesia Raya berkumandang setelah Presiden SBY memasuki ruang sidang paripurna DPR di Gedung DPR pada Jumat 14 Agustus 2009. Namun yang berkumandang justru Mengheningkan Cipta. Setelah itu SBY membacakan pidato kenegaraan menyambut HUT ke-64 RI.
Usai SBY berpidato, kealpaan itu diprotes anggota FPDIP Panda Nababan. Ketua DPR Agung Laksono mengaku khilaf dan menyatakan bukanlah suatu kesengajaan. Akhirnya Indonesia Raya berkumandang. Barulah kemudian SBY meninggalkan ruangan.
Saling tuding siapa yang salah pun terjadi. Agung dituding tidak fokus. Sedangkan Agung mengarahkan telunjuk pada Sekjen DPR Nining Indrasaleh. Nining meminta maaf. Namun sang MC yang malah menjadi kambing hitam.
Namun ada yang luput dari perhatian di samping mengusut siapa sebenarnya yang paling bersalah. Kejadian yang tak lazim biasanya mengandung rahasia alam. Setidaknya begitulah dalam pandangan supranatural Taufik Kindy.
"Ini adalah sebuah rahasia alam. Kejadian itu bukan sekadar lengsernya peradaban, tapi lebih dari itu. Bisa saja Indonesia berganti nama," katanya kepada INILAH.COM di Jakarta.
Meski Kindy tak merinci kejadiannya, tapi tahun 2009 adalah puncaknya. Secara garis besar nama harfiah Indonesia itu akan sirna. Kepunahan Indonesia terjadi awal 2010. Setelah itu Indonesia akan lahir kembali, menjadi negara yang maju dan lebih baik di bawah pemimpin bijaksana.
Insiden lupa lagu itu pun dinilai Kindy mirip insiden palu patah. "Itu bukti kejadian tak biasa. Pertanda sesuatu luar biasa akan terjadi. Sambutan Mengheningkan Cipta untuk SBY mirip palu patah sebelum Pak Harto lengser zaman Orba," kata dia.
Sulit masuk di akal soal rahasia alam? Harmoko punya jawaban berdasarkan pengalamannya. Ketua MPR/DPR yang mengetukkan palu dan patah 11 tahun lalu ini mengaku menyadari isyarat alam jatuhnya Soeharto.
Kala itu berlangsung Sidang Paripurna MPR/DPR pada 11 Maret 1998 silam. Harmoko mengetukkan palu untuk memutuskan Soeharto resmi sebagai presiden yang ketujuhkalinya. "Begitu palu sidang saya ketukkan, kepala palu tiba-tiba patah dan terlempar ke depan," tutur Harmoko melalui buku berjudul 'Berhentinya Soeharto, Fakta dan Kesaksian Harmoko' yang ditulis Firdaus Syam.
Harmoko langsung meminta maaf kepada Soeharto. Namun Harmoko tetap berfirasat akan terjadi sesuatu. Firasat itu menjadi nyata. Tepat 70 hari setelah insiden palu patah, Soeharto lengser. Kepala palu yang patah ternyata merupakan pertanda patahnya perjalanan Soeharto sebagai kepala negara.
Rahasia alam maupun isyarat alam di balik setiap peristiwa juga diyakini oleh politisi yang juga paranormal Permadi. Insiden lupa lagu di era SBY merupakan suatu pertanda. Apalagi lagu Mengheningkan Cipta sebenarnya ditujukan untuk mengenang arwah para pahlawan yang telah tiada.
"Kalau saya SBY, saya sangat tersinggung. Masak saya masih hidup disamakan dengan arwah. Ya itu kan dulu juga sudah ditunjukkan Yang Maha Kuasa, waktu SBY di Istana dikerubungi lalat," ujar Permadi kepada INILAH.COM seraya mengingatkan insiden SBY dihinggapi lalat saat syuting selamat mencontreng Pilpres 2009 di Istana Negara 7 Juli lalu.
Arti lain dari insiden tersebut, menurut mantan politisi PDIP ini, adalah SBY tak lagi dianggap sebagai presiden. Sebab biasanya presiden selalu disambut dengan lagu Indonesia Raya dalam setiap momen resmi. Namun Tuhan telah menutup mata semua anggota DPR sehingga insiden itu terjadi.
"Ini kehendak Tuhan. Pimpinan DPR menganggap SBY sudah demisioner, jadi tidak usah disambut dengan Indonesia Raya. Hanya presiden yang disambut dengan Indonesia Raya. Kalau begitu ini juga bermakna SBY dianggap bukan presiden," kata Permadi.
Jika misteri palu patah telah terjawab dengan lengsernya Soeharto 70 hari kemudian, lalu apa jawaban untuk misteri lupa Indonesia Raya dan justru Mengheningkan Cipta yang berkumandang? Sejarawan UI JJ Rizal menganggapnya sebagai pertanda telah lupanya DPR dan pemerintah terhadap rakyatnya.
"Kalau lagu kebangsaan saja tidak diingat, bagaimana dengan anak bangsanya. Inilah akibatnya bila sebuah kekuasaan di suatu negara dimulai dengan membunuh jutaan hak rakyat pada pemilu lalu. Ini persis seperti masa kolonial saat masyarakat kita tidak ada harganya. Masyarakat itu dinilai hanya sebagai angka statistik belaka," cetusnya.
Apapun rahasia maupun isyarat alam yang disampaikan, ada baiknya introspeksi segera dilakukan. Yang jelas, insiden lupa Indonesia Raya terjadi saat elit politik sibuk bagi-bagi jatah kue kekuasaan dan kursi parlemen. Jika insiden itu dianggap sangat memalukan, bisa jadi memang karena ada sesuatu yang lebih memalukan lagi di baliknya yang harus segera diperbaiki, sambil menanti jawaban misteri. [sss]
0 komentar:
Posting Komentar